Selasa, 27 Desember 2011

Filsafat sains oke

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Sejak zaman dahulu manusia telah memiliki banyak pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan tersebut merupakan pengalaman pribadi seseoarang atau sekelompok orang. Pengalaman-pengalaman itu ada yang berasal dari temuan diri sendiri, dan ada pula hasil temuan orang lain. Baik temuan diri sendiri maupun temuan orang lain tentu berkaitan dengan bagaimana cara seseorang atau kelompok itu menemukan pengetahuan itu. Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan indera manusia tentu mengalami kelemahan, baik kelemahan pada alat indera maupun pada penarikan kesimpulan. Untuk itulah perlu adanya pemahaman tentang pengetahuan. Pemahaman tersebut dapat berupa ruang lingkup pengetahuan, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, dan bagaimana pula untuk mendapatkan pengetahuan yang berdasarkan metode ilmiah. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara-cara ilmiah tentu akan menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya dan bertahan cukup lama.
Dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat mencolok. Nuchelmans (dalam Lasiyo, 1985), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (dalam Lasiyo, 1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1997), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon (dalam Huky DA.Wila, 1982) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena  pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu  sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya pada Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam Huky, DA.Wila, 1982), yang berpendapat bahwa  filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.
Sehubungan dengan itu dalam filsafat kita mengenal bagian-bagiannya, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membicarakan objek-objek apa yang menjadi pembicaraan suatu ilmu, epistemologi membicarakan bagaimana suatu ilmu didapat, sedangkan aksiologi bagaimana pemanfaatan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya epistemologi sebagai suatu ilmu yang membicarakan asal-usul dan cara mendapatkan pengetahuan, maka perlu dilakukan pengkajian mengenai epistemologi.
Epistemologi mempunyai dua cabang, yaitu filsafat pengetahuan (theories of knowledge) dan filsafat ilmu (theories of science). Objek material filsafat pengetahuan adalah gejala pengetahuan, sedangkan objek material filsafat ilmu adalah mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab terpokok. Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan penyelidikan empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah epistemologi, akan didapat hakikat yang merupakan karakter dari objek ilmu. Misalnya terdapat karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora dalam hal objek material.
Berdasakan pandangan-pandangan dari para ahli tersebut, maka dalam tulisan ini akan dikaji lebih lanjut mengenai hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi, filsafat ilmu dengan cabang filsafat lain, dan filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu.
1.2         Rumusan Masalah
Beranjak dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1.2.1        Bagaimanakah hubungan antara filsafat ilmu dengan epistemologi?
1.2.2        Bagaimanakah hubungan antara filsafat ilmu dengan cabang filsafat lain?
1.2.3        Bagaimanakah hubungan antara filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu?
1.3         Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1        Mendeskripsikan hubungan antara filsafat ilmu dengan epistemologi.
1.3.2        Mendeskripsikan hubungan antara filsafat ilmu dengan cabang filsafat lain.
1.3.3        Mendeskripsikan hubungan antara filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu.

1.4         Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.4.1        Bagi penulis
Dapat menambah wawasan mengenai hubungan filsafat dengan epistemologis, filsafat ilmu dengan filsafat lainnya, serta hubungan filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu.
1.4.2    Bagi pembaca
Dapat memperoleh informasi serta dapat dijadikan sebagai literature tambahan mengenai hubungan filsafat dengan epistemologis, filsafat ilmu dengan filsafat lainnya, serta hubungan filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Kedudukan Filsafat Ilmu
          Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait baik secara substansial, maupun yang historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris.
Kedudukan filsafat ilmu dalam kedudukan filsafat sebagai keseluruhan, membahas hal-hal berikut ini:
1.        Sifat pengetahuan ilmiah. Adapun yang dimaksud disini adalah filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat pengetahuan atau epistemology. Secara umum menyelidiki syarat serta bentuk pengetahuan manusia.
2.        Cara-cara mengusahakan pengetahuan ilmiah. Filsafat ilmu berkaitan dengan logika dan metodologi. Hal ini kadang-kadang filsafat ilmu disamakan pengertiannya dengan metodologi.
Pada dasarnya filsafat ilmu dikelompokkan menjadi dua.
1.        Filsafat ilmu umum, yaitu mencakup persoalan kesatuan, keseragaman serta hubungan di antara segenap ilmu. Persoalan ini terkait dengan kenyataan, kesatuan, perjenjangan dan satuan kenyataan.
2.        Filsafat ilmu khusus, yaitu membicarakan kategori-kategori serta metode yang digunakan dalam ilmu tertentu atau dalam kelompok ilmu tertentu, seperti kelompok ilmu alam, masyarakat, teknik, dan sebagainya.

(Mulyahardjo, 2001)
 
Dalam membahas filsafat ilmu ada dua model pendekatan.
1.      Filsafat ilmu terapan, yaitu dengan merujuk pada pokok pikiran kefilsafatan yang melatarbelakangi dasar pengetahuan normative dunia ilmu. Dalam hal ini dunia ilmu bertemu dengan dunia filsafat. Jadi, filsafat ilmu terapan tidak bertitik tolak dari dunia filsafat, tetapi dari dunia ilmu. Filsafat ilmu sebagai pengetahuan normative mencakup hal-hal berikut ini.
a.       Pengetahuan yang berupa pola pikir hakikat keilmuan
b.      Pengetahuan mengenai model praktek ilmiah yang diturunkan dari pola pikir.
c.       Pengetahuan mengenai berbagai sarana ilmiah.
d.      Serangkaian nilai yang bersifat etis yang terkait dengan pola pikir dengan model praktek yang khusus. Misalnya, etika profesi.
2.      Filsafat ilmu murni, yaitu dengan melakukan telaah kritis dan eksploratif terhadap materi kefilsafatan sehingga membuka cakrawala terhadap kemungkinan berkembangnya pengetahuan normatif yang baru.
2.2         Hubungan Filsafat Ilmu dengan Epistemologi
Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai hubungan antara filsafat ilmu dengan epistemologi, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui pengertian filsafat ilmu. Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (dalam Lasiyo, 1985).
1.        Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara actual).
2.        Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).
3.        A.Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual).
4.        Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
5.        May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu         
Filsafat ilmu adalah cabang dari epistemologi. Epistemologi mempunyai dua cabang, yaitu filsafat pengetahuan (theories of knowledge) dan filsafat ilmu (theories of science). Objek material filsafat pengetahuan adalah gejala pengetahuan, sedangkan objek material filsafat ilmu adalah mempelajari gejala-gejala ilmu menurut sebab terpokok. Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan (Verhak dan Haryono, 1989 dalam Siswomihardjo, 1997).
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menyangkut masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan atau bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, serta pengetahuan manusia. Sedangkan filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik  dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Menurut The Liang Gie (Huky DA.Wila, 1982), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sehubungan dengan pendapat tersebut bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)  bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu agar penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu. Pertanyaan ontologi dan epistemologi tidak dijawab dengan penyelidikan empiris, tetapi dipecahkan dengan penalaran. Dengan bantuan telaah epistemologi, akan didapat hakikat yang merupakan karakter dari objek ilmu. Misalnya terdapat karakter yang berbeda antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora dalam hal objek material.
Relevansi problem filsafat muncul dari fakta bahwa setiap peralatan riset atau prosedur tidak dapat diterangkan dengan memisahkan pandangan khusus tentang dunia. Tidak ada teknik atau metode penyelidikan ilmiah yang memperkokoh dirinya sendiri. Berbagai status instrument riset pada dasarnya tergantung pada justifikasi epistemologis. Instrument riset tidak dapat dipisahkan dari teori, sebagai peralatan riset, mereka bekerja hanya bersama-sama dengan asumsi-asumsi tentang hakikat dunia fisik, masyarakat, keberadaan manusia, dan bagaimana mereka mengetahuinya.
Validitas atau keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemoligis bukanlah sesuatu yang di datangkan dari luar, tetapi adalah hasil atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu, masalah validitas apakah ukurannya cocok atau reliabel atau tidak tergantung pada metode dan karakter objek. Dengan demikian, jenis ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya tidak sama. Dengan kata lain, kita tidak dapat menguji metode dan hasil ilmu yang satu dari teropong ilmu yang lainnya. Misalnya, ilmu-ilmu empiris validitas untuk produk ilmunya haruslah empiris (Hindes Barry, 1977 dalam Siswomihardjo, 1997).
2.3     Asumsi Beberapa Jenis Objek Ilmu
Ilmu yaitu pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis. Validitas atau keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologi bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil atau konsekuensi dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi dapat ditinjau dari asumsi beberapa jenis objek ilmu. Dalam khasanah filsafat ilmu, kita mengenal banyak bentuk ilmu, jenis ilmu, dan paradigma ilmu yang memberikan gambaran adanya keragaman, tingkat, dan aliran ilmu, yaitu:
1.        Ilmu Alam dan Empiris
Ilmu empiris berpandangan bahwa ilmu mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Jadi, berdasarkan objek telaahnya ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu sebagaimana dikatakan oleh Jujun (dalam Kuntowibisono, 1997) Ilmu empiris mempunyai beberapa asumsi mengenai objek (empiris) seperti berikut ini:
1)   Menganggap objek-objek tertentu mempunyai kesamaa satu sama lain, yaitu dalam hal bentuk, struktur, dan sifat sehingga ilmu tidak berbicara mengenai kasus individual, tetapi suatu kelas tertentu.
2)   Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahandalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relative dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3)   Menganggap setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Setiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama (Jujun dalam Burhanuddin, 2008).
Ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak dimana suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan suatu kejadian mempunyai kemungkinan atau peluang besar untuk mengakibatkan terjadinya kejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Hal tersebut perlu sebab kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas. Namun demikian, manusia memang dapat terlibat sebagai subjek maupun sebagai objek ilmu.
2.        Ilmu Abstrak (Simbolik)
Ilmu formal seperti halnya matematika, logika, filsafat, dan statistika adalah jenis ilmu yang berfungsi sebagai penopang tegaknya ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang tergolong formal pada umumnya berasumsi bahwa objek ilmu adalah bersifat abstrak, tidak kasat mata, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Objek dapat berupa konsep dan bilangan yang berada dalam pemikiran manusia.
3.        Ilmu-Ilmu Sosial dan Kemanusiaan
Ilmu sosial merupakan ilmu empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalam ruang lingkup kecil maupun besar.
Objek material ilmu sosial adalah berbeda dengan objek material dalam ilmu alam yang bersifat determistik. Objek material ilmu sosial berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia. Ilmu sosial bersifat bebas dan tidak bersifat determistik. Ilmu sosial mengandung pilihan, tanggung jawab, makna, pengertian, pernyyataan privat dan internal, konvensi, aturan, motif. Oleh karena itu, ilmu sosial tidaak tepat apabila diterapkan dengan predikat sebab-akibat. Konsekuensi epistemologis dari kekhususan tersebut menyebabkan tidak memaadainya metodologi ilmu alam untuk memahami fenomena manusia, kecuali sebagai objek alamiah. Kerja dari penelitian empiris adalah untuk menemukan secara persis pola yang menghubungkan antara aturan-aaturan, motif, situasi, hubungan sosial dan tingkah laku, serta memformulasikannya seebagai pembawa keteraturan.
Ilmu berbeda-beda terutama tidak karena objek material berbeda, tetapi khususnya karena mereka berbeda menurut objek formal. Objek ilmu kemanusiaan adalah manusia sebagai keseluruhan. Perbedaan terrsebut menimbulkan perbedaan pendekatan. Cara-cara berpikir ilmu alam adalah univok, sedangkan ilmu-ilmu social cara berpikirnya analog, yaitu setiap lingkungan masyarakat sama, tetapi kesamaannya ittu berbeda.
4.        Ilmu Sejarah
Ciri ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu empirislainnya adalah sifat objek materialnya, yaitu data-data peninggalan masa lampau, baik berupa kesaksiaan, alat-alat, kuburan, rumah, tulisan, dan karya seni. Semua ini mirip dengan objek material ilmu kealaman karena sama-sama sebagai benda mati. Namun, objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperimen karena menyangkut masa lampau dan tidak dapat dibalikkan lagi. Sering peninggalan sejarah tertelan oleh masa, terlindung dan merupakan saksi bisu. Bahkan sering hilang. Karena sering banyak hal yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan menjadi problem dalam menentukan patokan objektivitas.
2.4         Taraf-Taraf Kepastian Subjektivitas dan Objektivitas Ilmu
Adapun Taraf-Taraf Kepastian Subjektivitas dan Objektivitas Ilmu adalah sebagai berikut:
1.        Evidensi
Evidensi objek pengetahuan berkenaan dengan taraf kepastian pengetahuan yang dapat dicapai subjek. Taraf-taraf kepastian subjek dan ilmu-ilmu terjadi berdasarkan evidensi objek yang dikenal. Evidensi dan kepastian itu perlu dilihat dari sudut kesatuan subjek dan objek dalam gejala pengetahuan manusia paada umumnya. Misalnya, dalam filsafat, evidensi objek bersangkutan dialami subjek dengan cara mendalam, dengan demikian, mutu kepastian adalah meyakinkan dan paling tinggi, paling bebas, sekaligus paling pribadi.
a.         Ilmu-Ilmu Empiris
Semua ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu kemanusiaan, mengejar kepastian. Namun taraf kepastian konkret dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas. Artinya, tidak pernah ada paksaan pada akal agar sesuatu disetujui. Dengan kata lain, evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi. Akibatnya, kepastian tersebut juga bersifat nisbi, sehingga perlu disetujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
Semakin dekat bidang ilmu tertentu pada pengalaman manusia seutuhnya, maka semakin besar kesatuan subjek-objek, dan semakin besar peran subyek dalam kesatuan itu. Jadi, evidensi dan kepastian diwarnai subjektivitas yang membangun. Misalnya dalam filsafat dan humaniora lainnya. Semakin jauh bidang ilmu tertentu dari pengalaman manusia seutuhnya, maka semakin kurang kesatuan subjek-objek, dan semakin kurang pula peran subjek dalam kesatuan itu. Jadi, evidensi dan kepastian lebih diwarnai oleh objektivitas (di luar pengalaman subjektif). Misalnya, dalam ilmu-ilmu alam.
b.         Ilmu-ilmu Pasti
            Dalam context of discovery sebagaimana ilmu yang lain, ilmu pasti pun masih dalam taraf coba-coba. Sedangkan dalam taraf context of justification, tidak ada hipotesa lagi, tetaapi hanya ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis dan dalil-dalil. Hal ini berlaku tanpa terikat ruang dan waktu. Memang ilmu-ilmu pasti tidak bersifat empiris, sehingga sifat evidensinya bersifat mutlak.
2.        Objektivitas
 Ilmu dikatakan objektif karena ilmu mendekati fakta-faktanya secara metodis. Artinya menurut cara penelitian yang dikembangkan oleh subjek yang mengenal. Misalnya, ilmu alam berhasil menyalurkan pengaruh subjektif sehingga terbentuk ilmu yang benar-benar intersubjektif. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu-ilmu tersebut di dalam prakteknya tidak dapat melakukan eksperimen secara netral.
Ilmu alam maupun ilmu social adalah nonrefleksif sejauh tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kodratnya sendiri sebagai ilmu dengan mempergunakan sarana-sarana teoritis dan eksperimentalnya.
2.5     Hubungan Filsafat Ilmu dengan Cabang Filsafat Lain
          Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti ontology (ciri-ciri susunan kenyataan), epistemologi (filsafat pengetahuan), metodelogi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggung jawab).
1.        Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan masalah ada, dan meliputi persoalan seperti apakah artinya ada, apakah golongan-golongan dari yang ada, apakah sifat dasar kenyataan, dan hal ada yang terakhir, apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori logis dapat dikatakan ada. Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik (Burhanuddin, 2008). Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini. Perama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab apa yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Filsafat ilmu berkaitan dengan ontologi karena filsafat ilmu dalam telaahnya terhadap ilmu akan menyelidiki landasan ontologism dari suatu ilmu. Landasan ontologism ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek materi atau maupun objek formal, apakah objek bersifat phisik atau bersifat kejiwaan.
2.        Epistemologi
Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan.Dalam epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber, dan alat untuk memperoleh pengetahuan, kesadaran dan metode, validitaspengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Epistemologi berkaitan dengan kesesuaian antara realisme tentang proporsi, konsep-konsep, kepercayaan, dan sebagainya. Selain itu, realisme tentang objek secara terpilah dalam term onjek real, fenomena, pengalaman, data indra, dan lainnya. Semua aliran epistemology meletakkan beberapa oposisi sebagai penyusun teori pengetahuan. Adapun tujuannya adalah meletakkan hal yang memungkinkan bagi suatu pengetahuan. Misalnya, teori-fakta, manusia-dunia, serta transedental subjektif-transedental objektif.
Epistemologis meliputi konsepsi yang spesifik tentang subjek, objek, dan hubungan keduanya. Kemudian hal itu dievaluasi dan menderivikasikan keterangan untuk mengevaluasi pengetahuan dari pengetahuan tentang hubungan. Spesifikasi epistemologis tentang criteria validitas semua pengetahuan harus memperkirakan validitas pengetahuan yang mendahuluinya. Epistemologi juga bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai. Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.
3.        Logika
Logika adalah cabang filsafat yang persoalannya begitu luas dan rumit. Logika berkisar pada persoalan penyimpulan, khususnya berkenaan dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang absah. Penyimpulan adalah proses penalaran untuk mendapat pengertian baru dari satu atau lebih proporsi yang diterima sebagai benar. Tatanan logis adalah merupakan syarat mutlak bagi suatu ilmu. Pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mengenai esensi-esensi dan sebab-sebab dari objek dalam bidang pengetahuan tertentu tidak dapat dihitung secara sewenang-wenwng, tetapi harus ditata dan diklasifikasikan sesuai dengan prinsip tertentu, dan mengikuti metode tertentu. Penyelidikan mengenai cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah bersangkutan dengan susuna logis dan metodologis, urutan, serta hubungan antara berbagai langkah dalam penyelidikan ilmiah. Hal ini bersangkutan pula dengan susunan logis dan metodologis, urutan dan hubungan antara unsure-unsur, serta struktur-struktur yang berlaku dalam pemikiran ilmiah.
4.        Metodologi
Metodologi adalah berkaitan dengan suatu konsep metode. Metodologi mempersoalkan apakah arti suatu metode, apakah sifat dasar metode, apakah ada metode yang khas bagi ilmu, apakah ada kaitan antara tujuan suatu penyelidikan dengan metode yang harus dipakai.
Filsafat ilmu mempersoalkan masalah metodelogik, yaitu mengenai asas-asas serta alas an apakah yang menyebabkan ilmu dapat memperoleh pengetahuan ilmiah. Filsafat akan mencari prinsip metodis suatu ilmu sebab prinsip metodis merupakan titik tolak penyelidikan suatu ilmu. Fungsi metodologi adalah menguji metode yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid. Metodologi meletakkan prosedur yang dipergunakan untuk menguji proporsi. Prosedur inidijistifikasi maknanya dengan argument filosofis. Metodologi-metodelogi mengklaim untuk menentukan prosedur yang benar bagi ilmu harus memperkirakan bentuk pengetahuan yang di dalamnya beberapa pengertian superior dihasilkan dalam ilmu. Ilmu diperkirakan valid jika hasilnya sesuai dengan prosedur dan diperkirakan dapat disahkan oleh ilmu. Metodologi meletakkan aturan bagi prosedur praktek ilmu penderivasian sedangkan makna pengetahuan dibuktikan oleh filsafat. Metodologi adalah produk filsafat, sedangkan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi (Barry Hindes dalam Harmadi, 2009).
Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
1)        Inferensi logis
2)        Deduksi logis
3)        Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
4)        Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
5)        Pengujian hipotesis.
6)        Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Adapun penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis diatas adalah sebagai berikut:
1)        Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
2)        Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
3)        Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
4)        Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
5)        Langkah kelima. Generalisasi empiris tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
6)        Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
5.        Etika
Etika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan baik dan buruk. Hal ini berkaitan dengan ilmu, yaitu berkaitan dengan tujuan ilmu dan tanggung jawab ilmu terhadap masyarakat. Hubungan filsafat ilmu dengan etika dapat mengarahkan ilmu agar tidak mencelakakan manusia, tetapi membimbing ilmu agar dapat menjadi sarana menyejahterakan manusia. Tujuan ilmu adalah memperoleh pengertian lebih dalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan supaya manusia menjadi lebih utuh, dewasa, dan bebas (Van Melsen dalam Kuntowibisono, 1997).
2.6     Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu-Ilmu
          Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat serta dapat juga berbentuk  perbedaan di antara keduanya. Di zaman Plato, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikutnya, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi. Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni, kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti yang dimiliki ilmu.
          Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya. Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.
Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat.
          Secara umum hubungan filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu adalah dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat ilmu mencakup hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan. Namun, lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu masih memiliki hubungan yang dekat, yaitu baik filsafat maupun ilmu sama-sama merupakan pengetahuan yang metodis, sistematis, dan koheren. Hal yang membedakan antara filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu adalah filsafat ilmu mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi ilmu. F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyan “Knowledge Is Power”, yang mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
          Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam Huky DA.Wila, 1982) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Untuk melihat hubungan antara filsafat ilmu dengan ilmu, ada baiknya kita lihat perbandingan antara ilmu dengan filsafat ilmu dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992).
Ilmu
Filsafat Ilmu
-       Mencoba merumuskan jawaban pertanyaan
-       Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
-       Obyek penelitian yang terbatas
-       Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
-       Bertugas memberikan jawaban
-       Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban
-       Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
-       Keseluruhan yang ada
-       Menilai obyek renungan dengan suatu makna, seperti religi, kesusilaan, keadilan dsb.
-       Bertugas mengintegrasikan ilmu

          Perkembangan ilmu yang semakin cepat juga dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Hubungan antara filsafat ilmu dengan ilmu-ilmu dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
1.        Perbedaan Filsafat dengan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai banyak persamaan. Kedua bidang tersebut tumbuh dari sikap refleksif dan sikap bertanya dan dilandasi oleh kecintaan yang tidak memihak terhadap kebenaran. Hanya saja apabila filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan jebenaran ilmu, sedangkan ilmu dengan metodenya tidak mampu mempertanyakan asumsi ilmu, metode ilmu, kebenaran ilmu,dan keabsahan imu. Ilmu tertentu menyelidiki bidang-bidang yang terbatas, sedangkan filsafat lebih bersifat inklusif dan bukan eksklusif. Filsafat berusaha untuk memasukan dalam pengetahuannya apa bersifat umum untuk segala bidang, dan untuk pengalaman manusia pada umumnya. Dengan demikian, filsafat berusaha mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif tentang benda-benda (Titus dalam Kuntowibisono,1997).
Ilmu dalam pendekatannya lebih analitik dan diskriptif. Ilmu berusaha untuk menganalisa secara kesuluruhan unsur-unsur yang menjadi bagian-bagiannya, serta menganalisa organisme padaanggota-anggotanya. Filsafat lebih berusaha menggabungkan benda-benda dalam sintesa yang interpretatif dan menemukan arti benda-benda. Apabila ilmu condong untuk menghilangkan faktor-faktor pribadi dan mengangap sepi nilai-nilai demi menghasilkan objektifitas, filsafat mementingkan personalitas nilai-nilai, dan bidang pengalaman (Titus dalam Kuntowibisono,1997).

2.        Spesialisasi Ilmu
Dewasa ini setiap pegetahuan terpisah dari yang lainnya. Ilmu terpisah dari moral; moral terpisah dari seni, dan seni terpisah dari ilmu. Kita tidak lagi memiliki pengetahuan yang utuh, tetapi terpotong-potong. Spesialisasi pendidikan, pekerjaan, dan kemajuan pada bebagai bidang pengetahuan menyebabkan jurang pemisah menjadi semakin lebar. Dengan demikian, muncul suatu subdisiplin yang akhirnya dapat menjadi displin yang berdiri sendiri. Kemungkinan ada dua atau lebih subspesialisasi dapat bertemu dan bekerja sama, yaitu karena persamaan objek penelitian, cara penelitian, dan sistem yang sama (T. Jacob dalam Kuntowibisono,1997)
Dengan berkembangnya kemampuan manusia dalam memecahkan masalah baru, maka memungkinkan ilnu untuk dapat menjajaki daerah baru. Dengan ditemukan daerah baru, alat baru, dan fenomena baru. Evolusi ilmu dapat berlangsung menurut percepatan dan kecepatan yang berbeda sehingga kecepatan dapat berubah dari masa ke masa, sedangkan percepatan terjadi karena kebutuhan dan rangsangan. Evolusi ilmu dapat berakhir dengan kepunahan matinya cabang-cabang ilmu sebab bermacam-macam, misalnya karena tidak mempunyai dasar ilmiah yang kuat dan teorinya dikalahkan oleh teori lain. Revolusi dalam ilmu adalah merupakan evolusi paradigma, yaitu mempengaruhi pola pikir dalam berbagai disiplin dan subdisiplin (T. Jacob dalam Kuntowibisono, 1997)
Cara untuk menyatukan berbagai ilmu tidak mungkin dengan mengintegrasikan kembali disiplin keilmuan menjadi suatu kelompok yang lebih besar. Dalam rangka integrasi ilmu guna mengatasi efek negatif  spesialisasi dan ramitifikasi ilmu, maka perlu adanya moral bagi ilmu dan pedukungnya. Namun untuk menjembatani antara moral dengan ilmu tidak dengan cara mundur ke belakang dan menentang arus spesialisasi ilmu, yaitu dengan menjadikan asas-asas moral sebagai landasan metafisik keilmuan. Juga tidak mungkin mengintegrasikan landasan epistemologis ilmu dan moral, yang mana ilmu yang mempermasalahkan benar salah dipadukan dengan moral yang mempermasalahkan baik buruk sehingga benar dikatakan baik dan salah dikatakan buruk (Ignas Kleden dalam Kuntowibisono,1997)
3.        Kerja Sama Filsafat dengan Ilmu
Dalam beberapa abad terakhir filsafat telah mengembangkan kerja sama yang erat dengan ilmu. Filsafat dan ilmu memakai metode pemikiran refleksif dalam usaha menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Filsafat dan ilmu berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar (Titus dalam Kuntowibisono,1997)
Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat perlu membangun filsafat. Filsafat mengambil pengetahuan yang terpotong-potong dari bermacam-macam ilmu dan mengaturnya dalam pandangan hidup yang lebih sempurna dan terpadu. Dalam hubungan ini kemajuan ilmu dan hubungan baru mendorong kita untuk meninjau kembali ide-ide dan interpretasi, baik dalam ilmu maupun dalam bidang-bidang lainnya. Misalnya penerimaan konsep revolusi mendorong kita untuk meninjau kembali pemikiran dalam segala bidang.
Filsafat dewasa ini secara kritis menganalisis konsep-konsep dan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu demi arti-arti dan validitasnya. Filsafat juga berusaha untuk mengatur hasil dari berbagai ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan dunia yang tersatupadukan, komprehensif, dan konsisten. Misalnya, fisika berjalan dengan bertumpu pada hukum-hukum mekanika, biologi berpandangan bahwa organisme yang lebih tinggi tidak bersifat mekanis, tetapi prilakunya berarah tujuan.
Ferrater Mora mengatakan bahwa hubungan ilmu dengan filsafat bersifat interaksi. Perkembangan ilmiah teoritis selalu berkaitan dengan pemikiran filsafat. Suatu perubahan besar dalam hasil dan metode ilmu secara tidak terhindarkan tercermin dalam perkembangan filsafat. Jadi, ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh baik tanpa kritik dari filsafat. Michael Whiteman menyatakan bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan filsafati sehingga untuk memisahkan satu dari yang lain adalah tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Filsafat dapat membantu dalam membedakan antara ilmu dan scientisme (paham yang memutlakkan berlakunya metode dan kebenaran ilmu sehingga tidak mengakui kebenaran di luar ilmu). Dengan demikian, ilmu melewati batas-batasnya dan menjadi suatu filsafat. Jadi filsafat dapat berdialog dengan ilmu untuk menemukan dan memperlihatkan filsafat tersembunyi pada ilmu.
Hubungan antara filsafat dan ilmu lebih erat dalam bidang ilmu manusia daripada dalam bidang ilmu alam. Hal ini disebabkan ilmu alam berwatak agak netral. Cabang filsafat yang sedang berkembang sekarang ini adalah foundational research, yaitu suatu penelitian kritis tentang metode, asumsi, dan hasil ilmu positif, baik IPA maupun IPS.
Filsafat dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan. Searah dengan spesialisasi ilmu, banyak ilmuwan yang hanya menguasai suatu wilayah sempit dan hampir tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh rekan-rekan sedisiplin dan disiplin yang lain.
Tugas dari filsafat adalah untuk memberikan pandangan keseluruhan, kehidupan, pandangan tentang alam agar mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan konsisten. Dengan kata lain, filsafat berusaha membawa hasil penyelidikan manusia keagamaan, sejarah, dan keilmuwan pada suatu pandangan dan pengetahuan bagi kehidupan manusia. Menurut pandangan ini, filsafat mencari kebenaran tentang segala sesuatu. Filsafat adalah meta ilmu, dan refleksinya mendorong kita untuk menengok kembali ide-ide dan interpretasi kita, baik dari ilmu maupun dari bidang-bidang lain.
Di bidang ilmu-ilmu manusia maupun ilmu alam, filsafat ilmu dapat memenuhi tuntutan teori dalam bentuk pendekatan terpadu, sekurang-kurangnya multidisipliner. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi dominasi suatu disiplin yang kuat terhadap disiplin yang lemah atau belum mapan. Filsafat dengan metode refleksif mampu mengembangkan hubungan antara manusia, teknologi, dan alam secara etis.
Studi multidispliner mempunyai ciri adanya berbagai masalah yang dilihat dari berbagai sudut sehingga mendapat gambaran total, baik horizontal maupun vertikal. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan bidang lain dan berbagai tingkat pengamatan. Bentuk kerja sama antara disiplin-disiplin ilmu yang masing-masing berdiri sendiri dalam multidisipliner tidak menyatupadukan metode-metodenya, tetapi yang terjadi adalah korespondensi antardisiplin yang otonom. Namun studi atau pendekatan multidispliner tidak melahirkan suatu disiplin baru. Ia diarahkan oleh minat teoritis, bukan oleh maksud-maksud praktis sebab dalam dataran teoritis objektifitas ilmu setidak-tidaknya tetap membimbing jalannya suatu penyelidikan. Sedangkan untuk maksud praktis, studi multidispliner tentu akan lebih diwarnai oleh kepentingan tertentu (Van Melsen dalam Kuntowibisono,1997)







BAB III
PENUTUP
3.1         Simpulan
Berdasarkan latar belakang, tujuan, dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.        Filsafat ilmu adalah cabang dari epistemologi. Dalam hubungan filsafat ilmu dengan epistemologi yang dibahas adalah objek pengetahuan, sumber dan alat untuk memperoleh pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
2.        Hubungan Filsafat ilmu bersinggungan dengan bagian-bagian filsafat sistematik lainnya, seperti ontologi (ciri-ciri susunan kenyataan), filsafat pengetahuan (hakikat serta otensitas pengetahuan), logika (penyimpangan yang benar), metodologi (konsep metode), dan filsafat kesusilaan (nilai-nilai serta tanggung jawab).
3.        Hubungan Filsafat dengan ilmu-ilmu memakai metode pemikiran refleksif dalam usaha menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Filsafat dan ilmu berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
3.2         Saran
Adapun saran yang bisa kami sampaikan diantaranya adalah agar makalah ini dapat dijadikan acuan dasar dalam penyusunan makalah yang jauh lebih baik dari pada makalah ini dan dapat membahas mengenai kedudukan filsafat ilmu yang lebih mendalam. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.







1 komentar: